TIMESINDONESIA, SURABAYA – Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya menggelar “Talkshow Nasional Ketahanan Pangan Ujung Jurang Bagi Krisis Lingkungan” di Gedung Kuliah Bersama (GKB) Kampus C, Sabtu (5/11/2022). Hadir sebagai narasumber, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) University Prof Dr Arif Satria, Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) Dr Sri Untari, dan Asisten Deputi II Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Muhammad Saifullah.
Kemudian juga ada Dosen Prodi Teknologi Pangan Fakultas Teknik UPN Veteran Jatim dan Alumni Beasiswa LPDP S2 Wagenigen University an Research NL Rahmawati, dan Founder Komunitas Cerita Iklim dan MSc Candidate, Environment and Sustainable Development University College London UK, Dhita Mutiara Nabella.
Ketua Umum DEKOPIN Dr Sri Untari menjelaskan, ketahanan pangan berbeda dengan kedaulatan pangan. Karena ketahanan pangan dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain melalui upaya impor dalam memperkuat dan membangun kekuatan logistik.
“Jadi ketahanan pangan bisa dicapai dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri,” kata Sri Untari.
Jika melihat luasan lahan di Indonesia, Sri Untari mengaku miris. Karena Indonesia masih mengimpor beberapa komoditas pangan. Apalagi saat ini tidak banyak koperasi yang mau fokus pada koperasi pertanian. Namun dominan koperasi simpan pinjam dan jasa.”Sehingga kemudian, lebih banyak kita berbicara ketahanan pangan dari sisi distribusi secara eceran atau retail,” ujarnya.
Sebagai Ketua Umum DEKOPIN, Sri Untari mendorong agar koperasi mau kembali berkecimpung dalam sektor pertanian.
Pada Hari Ulang Tahun ke-75 Koperasi Indonesia di Bali misalnya. DEKOPIN mengangkat isu ketahanan pangan dan perempuan. “Karena dua isu ini adalah isu yang dibawa di KTT G20,” kata Sri Untari. DEKOPIN juga melakukan riset di Tasikmalaya bekerja sama dengan Sang Hyang Sri menciptakan food estate. Dia mengakui bahwa upaya tersebut memang tidak mudah. Karena tidak banyak generasi muda yang tertarik pada sektor pertanian.
Padahal, DEKOPIN merancang blue print pertanian luas dengan pendanaan dari koperasi dan menciptakan para petani muda. Dan pada saat panen menggandeng off taker dengan BNI. Namun ternyata mencari sumber daya manusia generasi muda cukup sulit. Proyek itupun kandas. “Ini susahnya minta ampun. Susah sekali,” ucapnya.
Akhirnya DEKOPIN mengubah strategi dengan sistem distribusi pangan. Sri Untari mendorong koperasi di Indonesia untuk melakukan spin-off menjadi koperasi konsumen agar bisa menjadi distributor pangan. “Kita kerja sama dengan pabrikan, daerah lain yang bisa ke sana,” kata Sri.
Sementara terkait korelasi ketahanan pangan dan kerusakan lingkungan, Sri Untari mengungkapkan sebuah fakta kondisi perhutanan sosial di Jatim. Ternyata, pengelolaan perhutanan sosial itu justru menimbulkan ancaman bencana karena merusak lingkungan akibat pengembangan lahan tanam. Pepohonan di hutan gundul berubah menjadi lahan tegal atau perkebunan. Dampak paling mengerikan adalah timbul banjir bandang saat musim penghujan tiba. Lantas, bagaimana bentuk usaha ketahanan pangan yang tidak merusak lingkungan?
Lebih lanjut Sri Untari bercerita bahwa ia melihat sendiri bagaimana hutan-hutan berubah menjadi hamparan ladang di Malang Selatan, Nganjuk dan Bojonegoro karena salah sistem penanaman atau kurangnya edukasi pada masyarakat yang mendapat fasilitas memanfaatkan perhutanan sosial. Oleh karena itu, Sri Untari mengungkapkan satu solusi agar hutan tidak rusak karena pengembangan lahan pertanian. “40 persen harus ditanami tanaman tegakan,” kata Ketua Fraksi PDIP DPRD Jatim tersebut.
Tanaman penyerap air itu antara lain durian dan alpukat. Karena mayoritas pengembangan lahan perhutanan sosial hanya ditanami jagung, tebu dan ketela. Maka, begitu hujan turun, langsung banjir bandang. “Saya punya pandangan bahwa masyarakat harus diedukasi dengan cara 40 persen lahan ditanami tanaman tegakan. Negara harus imperatif,” tegasnya.
Ia mengatakan banyak pihak harus bertanggungjawab terhadap krisis iklim akibat upaya ketahanan pangan tersebut. “Kalau tidak dilakukan bagaimana? Cabut haknya. Supaya kemudian mereka betul-betul memahami bahwa akibat fokus pada ketahanan pangan yang tidak terlalu terencana dengan baik di masyarakat, tapi hutan kita habis dan kita kebingungan bencana banjir dan tanah longsor,” tambah Sri Untari.
Menurutnya, baik pemerintah maupun masyarakat tidak hanya memikirkan urusan perut. Namun juga peka terhadap dampak ketahanan pangan yang berujung pada krisis lingkungan. “Edukasinya adalah bagaimana kita melakukan pengendalian diri,” tandasnya.
Asisten Deputi II Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Muhammad Saifullah membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, untuk sawit sudah ada memorandum untuk tidak lagi melakukan perluasan lahan.
Sedangkan untuk perhutanan sosial, Saifullah setuju bahwa petani perkebunan harus mendapatkan edukasi. “Konsep perhutanan sosial sebenarnya bagus. Masyarakat di sekitar hutan yang sudah beranak pinak selama 30 tahun lebih negara tidak mungkin mengusir. Akan tetapi bagaimana juga mereka ini bisa hidup di situ dengan tidak merusak habitat,” katanya.
Namun tidak semuanya melakukan hak yang diberikan sesuai dengan norma pemerintah terkait perhutanan sosial. Pemerintah berharap masyarakat menanam kopi, kakao sebagai pohon penyerap air lebih lama. “Tapi masalahnya kita juga paham betul bahwa masyarakat butuh yang serba cepat,” tandasnya.
Edukasi bagi masyarakat di wilayah perhutanan sosial perlu dilakukan. Lebih lanjut, pemerintah akan mengevaluasi hak guna perhutanan sosial yang diberikan. “Kami harus mengevaluasi hak guna yang diberikan. Memang kadang-kadang pemerintah mempunyai otoritas untuk memaksa tapi niatnya baik,” jelas dia.
Kepala Departemen Ilmu Politik UNAIR Dr Dwi Windyastuti mengatakan, seminar ini merupakan kali kedua yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa (HIMA) Politik Indonesia.
Ia berharap talkshow dapat memberikan pencerahan dan inspirasi bagi HIMA Politik UNAIR. “Kesadaran ekologi sangat penting barangkali nanti akan ada yang ingin menulis politik iklim. Karena masih belum banyak,” kata Dr Dwi Windyastuti. (*)
Sumber: https://www.timesindonesia.co.id/s/vp89kzf4h7